Dewa Ayu
3 min readFeb 16, 2024
Laut Bercerita

Denpasar, 16 Februari 2024

Teruntuk Biru Laut Wibisana
yang raganya berada di kedalaman samudera,
tetapi namanya tetap abadi dalam semesta

Laut, aku ingin mengabarkan padamu bahwa saat ini kita sudah berada di awal tahun 2024. Ah, mungkin kamu sudah diberitahu melalui siulan burung belibis, atau kepakan sayap ikan pari, atau terumbu karang yang berwarna-warni, atau deburan ombak yang menenangkan hati. Sudah berapa tahun semenjak kepergianmu tahun 1998 silam, Laut? Apakah kamu merasa jika laut benar-benar rumah yang tentram dan sunyi bagimu? Aku sangat berharap jawabannya adalah iya. Doa-doa yang terselip dari bibirku akan selalu menyertai jiwamu, Laut.

Ibu pertiwi kita sudah mengalami banyak masa, Laut, macam-macam. Namun, satu hal yang pasti, bahwa kebebasan pers dan mengkritik pemerintah masih tetap terjaga, walau kadang-kadang ada yang masih dipaksa bungkam dengan cara yang halus—tidak kentara. Aku benar-benar berharap bahwa kamu ada di sini bersama kita, Laut, untuk bersikap kritis terhadap pemerintah, untuk berkarya sebebas-bebasnya, untuk melihat karya Pramoedya Ananta Toer dipajang di rak-rak tinggi toko buku, untuk menegakkan keadilan bagi mereka yang tertindas, dan menyuguhkan kesadaran bagi mereka yang berada dalam posisi menengah atas. Jika saja kau di sini bersama kita, Laut, aku mungkin akan menjadi penggemar setia dari tulisan-tulisanmu. Kebetulan, aku sangat suka membaca—pastilah saat ini kau akan menjadi penyair hebat, penyair yang dapat memberi buncahan gelora pada setiap orang untuk memerdekakan bangsa dan dirinya sendiri — agar demokrasi bisa tercapai.

Pesta demokrasi untuk memilih pemimpin ke-8 negeri ini baru saja terjadi 14 Februari 2024 kemarin, Laut, bertepatan dengan hari kasih sayang. Rakyat menyambutnya dengan penuh sukacita, membawa harapan dalam benak mereka untuk Indonesia yang lebih baik lagi. Salah satunya adalah aku. Harus aku akui, awalnya aku sangat apatis dan berpikir bahwa siapapun pemimpin negeri ini, tidak akan mengubah hidupku yang carut-marut. Namun, setelah aku mendengarkan ceritamu, setelah aku membaca rintihan-rintihan kawan-kawan sedarahku yang tercekik kebijakan yang tidak berpihak kepada mereka, aku pun tergerak untuk lebih memahami mereka dengan memberikan suaraku. Aku memberikan suaraku pada apa yang menurutku benar, Laut, dengan secercah harapan bahwa hidupku dan hidup segenap kawan-kawan sedarahku yang carut-marut ini akan mengalami perubahan yang lebih baik. Aku memilih dari hatiku sendiri setelah membaca visi misi para kandidat. Bukankah seharusnya memang seperti itu, Laut?

Namun, hasil dari pesta demokrasi ini membuatku terlampau kecewa. Bukan. Bukan karena kandidat yang aku pilih tidak memperoleh suara terbanyak, karena aku sudah sangat bersahabat dengan kekalahan sejak dini, tetapi karena demokrasi yang telah kau perjuangkan dengan kawan-kawanmu terancam mati— lagi. Aku takut, Laut. Aku sangat takut jika nantinya akan lebih banyak rakyat yang tertindas dan menderita. Aku sangat takut jika akan terjadi ketimpangan besar di masyarakat. Hidupku yang seperti ini saja sudah membuatku merasa seperti di neraka, bagaimana dengan mereka yang jauh lebih tidak beruntung dari diriku? Laut, aku merasa kacau sekali. Dua hari ini aku tidak bisa tidur lelap, membayangkan bangsa Indonesia akan seperti apa jadinya di masa depan. Aku tidak ingin kawan-kawan sedarahku mengalami masa-masa kelam sepertimu dan kawan-kawanmu, Laut. Kamu pasti juga tidak menginginkannya, kan?

Meski keadaan takut itu masih terus memelukku, menghantui setiap langkah yang kuambil, kegentaranku juga tak akan kubiarkan mengalahkan ketakutanku. Tidak akan kubiarkan perjuanganmu dan kawan-kawan sedarahmu padam begitu saja seperti daun yang diterpa angin. Aku akan melanjutkan apa yang sudah kamu perjuangkan selama ini, Laut. Tidak peduli seberapa banyak kelam yang harus kuhadapi, aku akan tetap melawan. Bahkan jika napasku sudah menyatu dengan udara, bahkan jika denyut jantungku sudah kehilangan temponya, bahkan jika tubuhku membusuk di bawah tanah, bahkan jika saja aku suatu saat juga akan menghilang tanpa jejak, jiwaku masih akan tetap hidup dalam setiap kata yang kurangkai lewat surat ini— mungkin pula surat ataupun tulisan lainnya—untuk mengiringi jiwa-jiwa yang dihilangkan paksa dan belum kembali, mengiringi jiwa-jiwa yang setia menunggu keadilan yang abadi.

Bahkan jika aku, kamu, kita semua mati bersama demokrasi,

Kita akan tetap hidup berkali-kali

Salam Kasih dalam Perjuangan,
Wayupd.

Dewa Ayu
Dewa Ayu

Written by Dewa Ayu

They didn't let me to speak, so I write || eaJPark adorer♡

Responses (3)